BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.
Seiring
dengan perkembangan zaman dan teknologi banyak masyarakat yang kurannpeduli
dengan budaya yang ada di Indonesia. Masyarakat lebih memilih budaya dari luar
daripada budaya kita sendiri, ini menyebabkan masyarakat Indonesia semakin
tidak mengerti akan pentingnya budaya sendiri. Padahal setelah kita menyadari
budaya dari luar belum tentu lebih baik daripada budaya kita.
Di
sisi lain masyarakat dari luar semakin mengincar budaya kita. Banyak dari
mereka yang mengklaim budaya kita.seperti Reog Ponorogo, lagu Rasa Sayange
dll.Itu membuktikan masyarakat kurang memperhatikan budaya kita. Setelah tahu
negara lain mengklaim budaya kita, kita baru menyalahkan negara lain dan
memikirkan mengenai hak paten. Masyarakat kurang menyadari bahwa di Indonesia
sangat beragam kebudayaan-kebudayaan daerah. Kalau mereka bisa memanfaatkan
budaya dan mengolahnya dengan baik maka itu sangat berguna bagi negara kita.
Untuk
mengatasi masalah tersebut maka digagaskan mengenai Pendekatan Terhadap
Pendidikan Multikultural. Pada pendidikan Multikultural tentu saja kurikulum
menjadi faktor yang menentukan dalam Pendidikan Multikultural. Di sekolah-sekolah
Amerika Serikat terdapat berbagai pendekatan dalam melakukan reformasi kurikulum
multikultural. Pada makalah ini akan diuraikan berbagai pendekatan Pendidikan
Multikultural, khususnya di Amerika Serikat. Setiap negara, termasuk Indonesia
mempunyai permasalahan unik yang berbeda-beda, namun ada sejumlah permasalahan
yang sama dan kita bisa banyak belajar negara lain, termasuk Amerika Serikat
yang sudah lama mendalami dan mengembangkannya. Kita tahu bahwa Perintis
Pendidikan Multikultural berasal dari negara ini. Berikut ini akan kita telaah
bersama-sama perkembangan kurikulum untuk Pendidikan Multikultural.
B.
Tujuan
Setelah
mempelajari Pendidikan Multikultural ini maka kita kita diharapkan :
1. Mengetahui
pendekatan apa saja yang digunakan dalam Pendidikan Multikultural.
2. Mengetahui
Kurikulum berpusat pada paham budaya Utama.
3. Mengetahui
menyusun kurikulum Multikultural.
4. Mengetahui
tahap – tahap Integrasi materi Multikultural ke dalam kurikulum.
BAB II
PEMBAHASAN
PENDEKATAN TERHADAP PENDIDIKAN
MULTIKULTURAL
1.
Kurikulum
Berpusat Pada Paham Budaya Utama
Kelompok
budaya yang dominan di masyarakat AS disebut aliran utama budaya orang Amerika. Sebagian
besar kurikulum sekolah, buku teks, dan materi pelajaran kurang memberi
perhatian pada kelompok ini. Bahkan, sebagian besar kurikulum, buku teks, dan
materi pelajaran lebih berfokus pada
White Anglo-Saxon Protestants (Banks, 1993: 195). Kurikulum yang hanya berfokus
pada aliran utama (budaya dominan) Amerika dan mengabaikan pengalaman, budaya
dan sejarah dari kelompok etnis, ras, budaya dan agama yang lain akan memiliki
konsekuensi yang negatif. Konsekuensi negatif bagi siswa Amerika dari aliran
utama maupun siswa dari kulit berwarna yang bukan termasuk dalam kelompok dominan
ini. James A. Banks berpendapat bahwa kurikulum yang berpusat pada aliran utama
(a mainstream-centric curriculum) ini justru dapat menjadi satu cara utama yang
memperkuat rasisme dan etnosentrisme dan hal ini diabadikan di sebagian besar
sekolah dan di masyarakat Amerika.
Kurikulum
berpusat pada aliran utama memiliki konsekuensi negatif terhadap siswa dari
aliran utama karena kurikulum ini memperkokoh rasa superioritas yang keliru
(false sense of superiority), memberi mereka konsepsi yang salah tentang
hubungan mereka dengan kelompok ras dan etnis lainnya, dan menolak kesempatan
memperoleh manfaat dari pengetahuan, perspektif, dan kerangka pikir yang dapat
diperoleh dari mengkaji dan mengalami budaya dan kelompok lain. Kurikulum yang
berpusat pada aliran utama juga mengabaikan kesempatan siswa Amerika aliran
utama untuk melihat kebudayaan mereka dari sudut pandang budaya lain. Jika
orang melihat kebudayaan mereka dari sudut pandang budaya lain, mereka dapat memahami
budayanya sendiri secara lebih utuh. Dengan demikian mereka dapat melihat
bagaimana keunikannya dan perbedaanya dari budaya lain, dan memahami secara
lebih baik bagaimana budaya itu berhubungan dan berinteraksi dengan budaya
lainnya. Kurikulum berpusat aliran utama
berpengaruh secara negatif terhadap siswa kulit berwarna, seperti orang
Afrika-Amerika, Hispanis, dan Asia-Amerika. Kurikulum itu mengabaikan
pengalaman dan budaya mereka dan tidak menggambarkan impian, harapan, dan
perspektif kelompok yang tidak termasuk aliran utama ini.
Pada
pendekatan berpusat aliran utama, peristiwa, tema, konsep, dan isu dipandang
terutama dari perspektif kelas menengah Anglo-Amerika dan Eropah. Perkembangan
peristiwa dan budaya seperti eksplorasi orang Eropah di Amerika dan
perkembangan musik Amerika dipandang dari perspektif Anglo dan Eropah dan
dievaluasi dengan menggunakan kriteria dan sudut pandang dari aliran utama.
2.
Upaya
Menyusun Kurikulum Multikultural
Sejak
gerakan hak-hak sipil tahun 1960-an, para pendidik sedang mencoba, dengan
berbagai cara, mengintegrasikan kurikulum sekolah secara lebih baik dengan
materi etnis dan berupaya mengubah kurikulum berpusat Eropah (aliran utama).
Hal ini dibuktikan dengan sulitnya merumuskan tujuan sekolah karena adanya
berbagai pertimbangan yang kompleks.
Ideologi Kaum Asimilasi yang kuat yang dianut oleh sebagian besar
pendidik AS adalah satu alasan utama. Ideologi asimilasionis membuat
pendidiknya sulit berpikir beda tentang bagaimana masyarakat dan budaya AS
berkembang dan memperoleh komitmen untuk membuat kurikulum multikultural.
Individu yang memiliki ideologi asimilasionis yang kuat berpandangan bahwa
peristiwa dan perkembangan paling penting di masyarakat AS dihubungkan dengan
warisan negara Inggris dan bahwa kontribusi kelompok etnis dan budaya yang lain
tidak begitu penting.
Perlawanan
ideologis (ideological resistance) merupakan faktor utama yang memperlambat dan
masih lambatnya perkembangan multikultural, namun faktor lain juga mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangannya. Perlawanan politis terhadap kurikulum
multikultural sangat berkaitan dengan perlawanan ideologis. Beberapa orang yang
menentang kurikulum multikultural meyakini bahwa pengetahuan adalah kekuatan
dan bahwa perspektif multikultural masyarakat AS menantang struktur kekuatan
yang ada. Jadi mereka berpandangan bahwa kemunculan kurikulum multikultural
bisa dianggap sebagai kekuatan baru yang membahayakan eksistensi dari kelompok
yang menjadi aliran utama ini. Mereka yakin bahwa kurikulum berpusat pada
aliran utama yang dominan mendukung, memperkuat, dan membenarkan struktur
sosial, ekonomi dan politik yang ada. Kurikulum berpusat pada aliran utama
berusaha mempertahankan status quo. Sedangkan perspektif dan sudut pandang
multikultural akan membenarkan dan mempromosikan perubahan sosial dan rekonstruksi
sosial. Ada dua sisi yang berhadapan yakni kelompok aliran utama ingin
mempertahankan status quo seperti sekarang ini dan kelompok multikultural yang
ingin melakukan rekonstruksi sosial.
Faktor
lain yang memperlambat pelembagaan kurikulum multikultural mencakup rendahnya
tingkat pengetahuan tentang budaya etnis yang dikuasai sebagian besar pendidik
dan beratnya beban pelajaran yang ada pada buku teks. Pengajar harus memiliki
pengetahuan yang mendalam tentang budaya etnis dan juga memiliki pengalaman
mengintegrasikan materi, pengalaman, dan sudut pandang etnis dalam kurikulum.
Pengajar menceritakan pada siswanya bahwa Columbus menemukan Amerika dan bahwa
Amerika adalah suatu “dunia baru” karena mereka hanya memiliki sedikit
pengetahuan tentang aneka budaya Amerika Asli yang ada di Amerika selama lebih
dari 40.000 tahun. Padahal bangsa Eropah baru menempati Amerika dalam jumlah
yang signifikan pada abad enambelas.
Beberapa
studi telah menyatakan bahwa buku teks masih menjadi sumber utama pengajaran,
khususnya mata pelajaran tertentu seperti studi sosial, membaca, dan seni
bahasa. Beberapa perubahan signifikan telah dibuat dalam buku teks sejak
gerakan hak-hak sipil tahun 1960-an. Banyak kelompok etnis dan wanita telah
muncul dalam buku teks saat ini dibandingkan masa lampau. Namun, materi tentang
kelompok etnis dalam buku teks biasanya disajikan dari perspektif aliran utama,
mengandung informasi dan kepahlawanan yang diseleksi dengan menggunakan
kriteria aliran utama, dan jarang terintegrasi secara konsisten dan total.
Informasi seputar kelompok etnis biasanya dibahas dalam unit, topik, dan bagian
teks yang khusus. Mereka mendekati pengajaran bermuatan etnis dalam cara-cara
yang terpilah-pilah.
3.
Tahap
– Tahap Integrasi Materi Multikultural ke dalam Kurikulum.
Sejak
tahun 1960-an dapat diidentifikasi ada empat pendekatan yang mengintegrasikan
materi etnis dan multikultural ke dalam kurikulum:
a.
Pendekatan
Kontribusi ( The Contributions Appproach )
Level
1 ini adalah satu dari yang paling sering dan paling luas dipakai dalam fase
pertama dari gerakan kebangkitan etnis (ethnic revival movement). Juga sering digunakan
jika sekolah mencoba mengintegrasikan materi etnis dan multikultural ke dalam
kurikulum aliran utama.
Ciri
pendekatan kontribusi adalah dengan memasukkan pahlawan etnis dan benda-benda
budaya yang khas ke dalam kurikulum, yang dipilih dengan menggunakan kriteria
budaya aliaran utama. Jadi individu seperti Crispus Attucks, Benjamin Bannaker,
Sacajawea, Booker T. Washington, dan Cesar Chavez sebagai pahlawan dari
kelompok multikultural ditambahkan dalam kurikulum. Mereka dibahas saat
pahlawan Amerika aliran utama seperti Patrick Henry, George Washington, Thomas
Jefferson, dan John F. Kennedy dipelajari dalam kurikulum inti. Elemen budaya
yang khas seperti makanan, tari, musik dan benda kelompok etnis dipelajari,
namun hanya sedikitmemberi perhatian
pada makna dan pentingnya budaya khas itu bagi komunitas etnis.
Karakteristik
penting dari pendekatan kontribusi adalah bahwa kurikulum aliran utama tetap
tidak berubah dalam struktur dasar, tujuan, dan karakteristik. Persyaratan
implementasi pendekatan ini adalah minimal yang hanya mencakup pengetahuan
dasar mengenai masyarakat AS dan pengetahuan tentang pahlawan etnis dan peranan
dan kontribusinya terhadap masyarakat dan budaya AS.
Pendekatan
kepahlawanan dan hari libur adalah varian dari pendekatan kontribusi. Dalam
pendekatan ini, materi etnis terutama terbatas pada hari, minggu dan bulan
spesial yang berhubungan dengan peristiwa dan peringatan etnis. Cinco de Mayo,
HUT Martin Luther King, dan Minggu Sejarah Afrika Amerika merupakan contoh hari
dan minggu etnis yang diperingati di sekolah. Selama perayaan ini, pengajar
melibatkan siswa dalam pelajaran, pengalaman, dan pawai sejarah yang berkaitan
dengan kelompok etnis yang sedang diperingati. Ketika pendekatan ini digunakan,
kelas mempelajari sedikit atau tidak sama sekali tentang kelompok etnis sebelum
atau sesudah peristiwa atau kesempatan khusus itu.
Pendekatan
kontribusi memberi kesempatan pada guru untuk mengintegrasikan materi etnis ke
dalam kurikulum secara cepat dengan memberi pengenalan tentang kontribusi etnis
terhadap masyarakat dan budaya AS. Pengajar yang komit untuk mengintegrasikan
materi etnis ke dalam kurikulum hanya memiliki sedikit pengetahuan tentang
kelompok etnis dan hanya sedikit merevisi kurikulum. Akibatnya, mereka
menggunakan pendekatan kontribusi saat mengajarkan tentang kelompok etnis.
Guru-guru ini seharusnya mendorong, mendukung, dan memberi kesempatan untuk
mempelajari pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan untuk mereformasi
kurikulumnya dengan menggunakan satu atau beberapa pendekatan yang efektif.
Pendekatan
kontribusi juga merupakan pendekatan paling awal bagi pengajar untuk digunakan
untuk mengintegrasikan materi etnis ke dalam kurikulum. Namun, pendekatan ini
memiliki beberapa kelemahan serius. Jika integrasi kurikulum dilengkapi
terutama dengan memasukkan pahlawan dan kontribusi etnis, siswa tidak
memperoleh pandangan global tentang peranan kelompok etnis dan budaya di
masyarakat AS. Lebih dari itu, mereka melihat isu dan peristiwa etnis terutama
sebagai tambahan terhadap kurikulum dan akibatnya budaya itu hanya berkedudukan
sebagai tempelan terhadap sejarah utama perkembangan bangsa dan terhadap
kurikulum inti dari seni bahasa, studi sosial, seni, dan bidang pelajaran yang
lain.
Pengajaran
isu etnis dengan menggunakan kepahlawanan dan kontribusi juga cenderung untuk
mengabaikan konsep dan isu penting yang berkaitan dengan korban dan penindasan
dari kelompok enis dan perjuangan melawan rasisme dan kekuasaan. Isu seperti
ras, kemiskinan, dan penindasan cenderung dijauhi dalam pendekatan kontribusi
untuk integrasi kurikulum. Cenderung berfokus pada suatu keberhasilan dan
pengesahan dari mitos Horatio Alger bahwa semua orang Amerika yang berkemauan
untuk bekerja keras dapat beranjak dari miskin menjadi kaya dan menaikkan
sendiri dengan usaha mereka sendiri.
Pendekatan
kontribusi seringkali menghasilkan peremehan budaya etnis, studi tentang
karakteristik aneh dan eksotis mereka, dan penguatan stereotipe dan salah
konsepsi. Jika fokusnya adalah pada kontribusi dan aspek unik dari budaya
etnis, siswa tidak terbantu untuk memandangnya sebagai keseluruhan yang lengkap
dan dinamis. Pendekatan kontribusi juga cenderung berfokus pada gaya kelompok
etnis daripada struktur lembaga seperti rasisme dan diskriminasi, yang secara
kuat mempengaruhi kesempatan hidup mereka dan tetap membuatnya lemah dan
terpinggirkan.
Pendekatan
kontribusi terhadap integrasi materi dapat memberi siswa dengan pengalaman
sesaat yang dapat diingat dengan pahlawan etnis, namun seringkali gagal untuk
membantunya memahami peran dan pengaruh pahlawan itu dalam konteks keseluruhan
dari sejarah dan masyarakat Amerika. Jika pahlawan etnis dipelajari terpisah
dan menjadi bagian dari konteks sosial dan politis di mana mereka hidup dan
bekerja, siswa hanya memperoleh pemahaman parsial tentang peranan dan
signifikannya dalam masyarakat. Jika Martin Luther King, Jr. dipelajari di luar
konteks sosial dan politik rasisme pelembagaan di AS Selatan pada tahun 1940
dan 1950 an, dan tanpa perhatian yang lebih tajam dari rasisme pelembagaan di
Utara selama periode ini, signifikansi utuhnya sebagai pembaharu sosial tidak
ternyatakan ataupun dimengerti oleh siswa.
b.
Pendekatan
Aditif (Additive Approach).
Tahap
kedua Pendekatan penting lain terhadap integrasi materi etnis terhadap
kurikulum adalah penambahan materi, konsep, tema dan perspektif terhadap
kurikulum tanpa mengubah struktur, tujuan dan karateristik dasarnya. Pendekatan
Aditif (Tahap 2) ini sering dilengkapi dengan penambahan suatu buku, unit, atau
bidang terhadap kurikulum tanpa mengubahnya secara substansial. Contoh
pendekatan ini meliputi penambahan buku seperti The Color Purple pada suatu
unit tentang abad duapuluh, penggunaan film Miss Jane Patman selama unit
tentang 1960-an, dan penambahan tentang suatu unit pada tawanan Jepang Amerika
selama studi Perang Dunia II di sebuah kelas sejarah Amerika Serikat.
Pendekatan
aditif memungkinkan pengajar untuk memasukkan materi etnis ke dalam kurikulum
tanpa restrukturisasi, suatu proses yang akan memakan waktu, usaha, latihan dan
pemikiran kembali dari maksud, sifat dan tujuan kurikulum yang substansial.
Pendekatan aditif dapat menjadi fase awal dalam upaya reformasi kurikulum
transformatif yang didesain untuk menyusun kembali kurikulum total dan untuk
mengintegrasikannya dengan materi, perspektif dan kerangka pikir etnis.
Yang
paling penting adalah pandangan tentang materi etnis dari perspektif sejarawan,
penulis, artis, dan ilmuwan aliran utama yang tidak memerlukan restrukturisasi
kurikulum. Peristiwa, konsep, isu, dan masalah yang diseleksi untuk studi
diseleksi dengan menggunakan kriteria dan perspektif Eurosentris dan aliran utama
sentris. Jika mengajar suatu unit seperti Gerakan Barat pada kelas sejarah di
AS kelas 5, guru dapat mengintegrasikan unit dengan menambahkan materi tentang
Oglala Sioux Indian. Namun, unit tetap berpusat dan difokuskan pada aliran
utama. Suatu unit disebut Gerakan Barat dan Eropah sentris sebagai aliran utama
karena berfokus pada orang Eropah Amerika dari bagian Timur ke Barat Amerika
Serikat.
Isi,
materi, dan isu yang ditambahkan ke dalam kurikulum seperti embel-embel
daripada bagian integral dari unit pelajaran dapat menjadi problematis. Problem
mungkin muncul jika buku seperti The Color Purple atau film seperti Miss Jane
Pittman ditambahkan pada unit jika siswa kekurangan konsep, latar belakang
materi, dan kematangan emosional sehubungan dengan isu dan masalah dalam materi
ini. Penggunaan efektif dari materi yang kompleks dan bermuatan emosi biasanya
memerlukan guru yang membantu siswa mempelajari secara bertahap dan berkembang,
memiliki latar belakang materi yang kuat serta memiliki kematangan sikap. Penggunaan
kedua materi ini di kelas dan sekolah yang berbeda telah menimbulkan masalah
utama bagi pengajar yang menggunakannya. Suatu kontroversi masyarakat timbul.
Masalah berkembang karena materi digunakan pada siswa yang tidak memiliki latar
belakang isi atau kepuasan sikap untuk meresponnya secara memadai. Menambahkan materi etnis ke dalam kurikulum
menurut cara yang sporadis dan terpilah-piliah dapat menyebabkan masalah
pedagogis, kesulitan bagi guru, kebingungan siswa, dan kontroversi masyarakat.
c.
Pendekatan
Transformasi
Pendekatan
transformasi (The transformation approach) berbeda secara mendasar dari
pendekatan kontribusi dan aditif. Pada kedua pendekatan, materi etnis ditambahkan
pada kurikukulum inti aliran utama tanpa mengubah asumsi dasar, sifat, dan
strukturnya. Dalam pendekatan transformasi ada perubahan dalam tujuan,
struktur, dan perspektif fundamental dari kurikulum.
Pendekatan
transformasi (tahap 3) mengubah asumsi dasar kurikulum dan menumbuhkan
kompetensi siswa dalam melihat konsep, isu, tema dan problem dari beberapa
perspektif dan sudut pandang etnis. Perspektif berpusat pada aliran utama
adalah hanya satu di antara beberapa perspektif darimana isu, masalah, konsep,
dan isu dipandang. Tidak mungkin dan tidak inginlah untuk melihat setiap isu,
konsep, peristiwa atau masalah dari sudut pandang setiap kelompok etnis AS.
Lebih dari itu, tujuan seharusnya memungkinkan siswa untuk melihat konsep dan
isu lebih dari satu perspektif dan melihat peristiwa, isu, atau konsep yang
sedang dipelajari dari sudut pandang kelompok etnis, budaya dan ras partisipan
yang paling aktif, atau berpengaruh paling meyakinkan (Banks, 1993: 203).
Isu
kurikulum esensial yang terdapat dalam reformasi kurikulum multikultural bukan
penambahan dari daftar panjang dari kelompok, pahlawan, atau kontribusi etnis
namun pemasukan berbagai perspektif, kerangka pikir, dan materi dari berbagai
kelompok yang akan memperluas pemahaman siswa akan sifat, perkembangan, dan
kompleksitas masyarakat AS. Jika siswa sedang mempelajari revolusi dari koloni
Inggris, perspektif dari revolusi Anglo, loyalis Anglo, Afrika Amerika, India,
dan Inggris adalah esensial bagi mereka untuk memperoleh suatu pemahaman utuh
tentang peristiwa yang signifikan dalam sejarah Amerika. Siswa harus
mempelajari revolusi dari berbagai kelompok yang berbeda ini untuk dipahami
secara utuh.
Dalam
seni bahasa, jika siswa sedang mempelajari sifat bahasa Inggris Amerika, mereka
seharusnya dibantu untuk memahami perbedaan bahasa dan kekayaan linguistik di
Amerika Serikat dan hal-hal dari berbagai kelompok regional, kultural, dan
etnis mempengaruhi perkembangan bahasa Inggris AS. Siswa seharusnya juga mengkaji
bagaimana penggunaan bahasa normatif berbeda dalam konteks sosial, wilayah dan
situasi. Pemakaian bahasa Inggris orang kulit hitam sesuai untuk konteks sosial
dan kultural tertentu dan tidak cocok untuk yang lain. Ini juga benar bagi
bahasa Inggris AS baku. Jika mempelajari musik, tari, dan sastra, guru
seharusnya memperkenalkan siswa dengan bentuk-bentuk seni di antara etnis AS
yang amat berpengaruh dan memperkaya tradisi seni dan sastra negara ini.
Jika
mempelajari sejarah, bahasa, musik, seni, sains, dan matematika AS, penekanan
seharusnya bukan pada cara-cara di mana berbagai kelompok etnis dan budaya itu
telah berkontribusi pada aliran utama budaya dan masyarakat AS. Lebih dari itu,
penekanan seharusnya pada bagaimana budaya dan masyarakat AS pada umumnya
muncul dari sintesis dan interaksi kompleks dari elemen budaya yang berbeda
yang asalnya dari berbagai kelompok budaya, ras, etnis, dan agama yang
membentuk masayarakat Amerika. Banks menyebut proses ini multiple acculturation
dan berpendapat bahwa sekalipun Anglo-Saxon Protestan adalah kelompok dominan
di Amerika Serikat secara kultural, politis, dan ekonomis, akan terjadi salah
pengertian dan tidak akuratlah untuk menggambarkan budaya dan masyarakat AS
sebagai budaya Anglo-Saxon Protestan.
Konsepsi
akulturasi ganda (a multiple acculturation conception) dari masyarakat dan
budaya AS mengarah pada perspektif bahwa memandang peristiwa etnis, sastra,
musik, dan seni sebagai bagian integral dari yang membentuk budaya AS secara
umum. Budaya WASP hanya dipandang sebagai bagian dari keseluruhan budaya yang
lebih besar. Jadi mengajari sastra Amerika tanpa melibatkan penulis kulit
berwarna yang signifikan memberikan pandangan yang parsial dan tidak lengkap
tentang sastra, budaya, dan masyarakat AS.
d.
Pendekatan
Aksi Sosial
Pendekatan
Aksi Sosial (the Social Action Approach) mencakup semua elemen dari pendekatan
transformasi namun menambahkan komponen yang mempersyaratkan siswa membuat
keputusan dan melakukan aksi yang berkaitan dengan konsep, isu, atau masalah
yang dipelajari dalam unit. Tujuan utama dari pengajaran dalam pendekatan ini
adalah mendidik siswa melakukan untuk kritik sosial dan perubahan sosial dan
mengajari mereka ketrampilan pembuatan keputusan. Untuk memperkuat siswa dan
membantu mereka memperoleh kemanjuran politis, sekolah seharusnya membantunya
menjadi kritikus sosial yang reflektif dan partisipan yang terlatih dalam
perubahan sosial. Tujuan tradisional dari
persekolahan yang telah ada adalah untuk mensosialisasi siswa sehingga mereka
menerima tanpa bertanya ideologi, lembaga, dan praktek yang ada dalam
masyarakat dan negara.
Pendidikan
politik di Amerika Serikat secara tradisional meningkatkan kepasifan politik daripada aksi politik. Tujuan utama dari pendekatan
aksi sosial adalah untuk membantu siswa memperoleh pengetahuan, nilai, dan
ketrampilan yang mereka butuhkan untuk berpartisipasi dalam perubahan sosial
sehingga kelompok-kelompok ras dan etnis yang terabaikan dan menjadi korban ini
dapat menjadi berpartisipan penuh dalam masyarakat AS dan negara akan lebih
dekat dalam mencapai ide demokrasi. Untuk berpartisipasi secara efektif
dalam perubahan sosial yang demokratis, siswa harus diajar kritik sosial dan
harus dibantu untuk memahami inkonsistensi antara ideal dan realitas sosial,
kegiatan yang harus dilakukan untuk mendekatkan jurang pemisah ini, dan
bagaimana siswa, sebagai individu dan kelompok, dapat mempengaruhi sistem
politik dan sosial pada masyarakat AS. Dalam pendekatan ini, pengajar adalah
agen perubahan sosial (agents of social change) yang meningkatkan nilai-nilai
demokratis dan kekuatan siswa.
Empat pendekatan untuk integrasi materi
multikultural ke dalam kurikulum sering dipadukan dalam situasi pengajaran
aktual. Satu pendekatan, seperti pendekatan kontribusi, dapat dipakai sebagai
wahana untuk bergerak ke yang lain, yang lebih menantang secara intelektual
seperti pendekatan transformasi dan pendekatan aksi sosial. Tidak realistis
untuk mengharapkan guru berpindah secara langsung dari kurikulum yang amat
berpusat pada aliran utama ke pendekatan yang berfokus pada pembuatan keputusan
dan aksi sosial. Pergerakan dari tahap awal ke tahap lebih tinggi dalam
mengintegrasikan materi multikultural dapat terjadi secara bertahap dan
kumulatif.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
III.1
Kesimpulan
Kurikulum yang
berpusat pada aliran utama ternyata berdampak negatif bagi siswa yang dominan
dan siswa kulit berwarna. Kurikulum justru memperkuat perasaan keliru tentang
superioritas dari siswa aliran utama dan gagal merefleksikan, memvalidasi, dan
memperingati budaya siswa kulit berwarna. Beberapa faktor memperlambat
pelembagaan kurikulum multikultural di sekolah. Faktor tersebut fmeliputi
penolakan ideologis, kurangnya pengetahuan guru tentang kelompok etnis, dan
terlalu beratnya guru bertumpu pada buku teks.
Empat pendekatan untuk integrasi materi
etnis ke dalam kurikulum dapat diidentifikasi pada subunit ini. Pada pendekatan
kontribusi, pahlawan, komponen budaya, hari libur dan elemen yang lain yang
berhubungan dengan kelompok etnis ditambahkan pada kurikulum tanpa mengubah
strukturnya. Pendekatan aditif terdiri dari penambahan materi, konsep, tema,
dan perspektif ke dalam kurikulum, dengan strukturnya yang tetap tidak berubah.
Dalam pendekatan transformasi, struktur, tujuan, dan sifat kurikulum diubah
untuk memungkinkan siswa melihat konsep, isu dan problem dari perspektif etnis
yang berbeda. Pendekatan tindakan sosial mencakup semua elemen pendekatan
transformasi, ditambah elemen yang memungkinkan siswa mengidentifikasi isu
sosial yang penting, mengumpulkan data yang terkait, mengklarifikasi
nilai-nilainya, membuat keputusan reflektif, dan mengambil tindakan untuk
mengimplementasikan keputusan mereka. Pendekatan ini berupaya menjadikan siswa
agen perubahan yang reflektif dan kritik sosial.
nice kak
BalasHapusKak minta sumbernya dong
BalasHapus